Hidup itu semacam permainan. Kalah atau menang, itu sebuah suratan.

18 Mar 2012

Resensi Kereta Tidur - Avianti Armand (Bagian Satu)


Apakah memang Avianti selalu, dan bisa mengaduk-aduk metafora ke dalam sebuah cerpen? Kereta Tidur jawabannya. Hampir di setiap cerpen dalam buku ini merefleksikan permasalahan-permasalahan sehari-hari--konflik cinta, pertanyaan dan jawaban atas pengorbanan, serta eksistensi manusia dalam dunia-- tetapi dikemas dalam suatu bentuk kiasan utuh, dan dirancang dengan baik seolah-olah merupakan hasil pemikiran seorang arsitektur handal--pekerjaan Avianti itu sendiri.

Perempuan Pertama diciptakan. Tepat disaat Laki-Laki sedang tertidur. Sekarang Ia sedang menamai makhluk-makhluk di dunia baru tersebut, sedang berkeliling dan belum menemui perempuan itu. Perempuan itu belum bernama, dan Ia sendiri tidak tahu kalau Ia disebut 'Perempuan'. 
Malaikat lain turun dan meletakkan sejumput api di dada perempuan itu hingga tubuhnya gusar dan tak sabar
Sayang sekali saya tidak mengerti, Avianti. Dalam cerpen pertamamu ini, apa yang Anda kiaskan sebagai Tuhan di baris ketujuh sebelah kiri, empat kursi dari ujung? Mengapa Ia menangis sambil memegang dadu yang semua sisinya tertulis: "dosa" ? Apakah Ia merasa bersalah, akan menggulirkan dadu karena "ular" mengenalkan kepada manusia apa itu kematian? Kalimat terakhir cerpen Anda menggantung di kening saya. Sangat disayangkan, padahal alur dalam cerpen ini sudah baik tersusun.

Memang setiap pribadi yang sedang digeluti cinta, bagai terpapar cahaya Matahari sehingga tiap kalimat yang mereka ucap selalu berbunyi puisi. Tetapi, apakah yang dirasakan seseorang ketika bertanya "Apakah kamu mencintaiku?" malah ditanya balik dengan lirih, pandangan jauh, "Apakah cinta itu?".
Siapa yang pernah menanam pohon akan tahu bahwa yang tumbuh bukan hanya sebuah batang  dalam ruang, tapi juga sebentuk tanda dalam waktu.
Diantara batang-batang langsing itu, kamu jauh berpendar. Hilang, muncul, hilang, muncul, dan kembali. Begitu dimanja mata saya dalam membaca cerpenmu ini, Avianti. Ya, memang cinta adalah sebuah pelajaran yang harus dirasakan sendiri. Bukan dari cerita, dan dongeng sebelum tidur orang lain.

Sepertinya saya merasa, Dongeng Dari Gibraltar harus berakhir bahagia selamanya. Sania dan Mesaud akan bersukacita dengan kelahiran bayi pertamanya di rumah sempit itu. Tapi tidak. Engkau memilihkan akhir yang pilu bagi pasangan suami-istri itu, Avianti. Pengorbanan adalah bukan hal yang sembarang. Tetapi pengorbanan yang paling mulia adalah jika engkau 'bersama-sama' merelakan hal yang paling engkau cintai.
Malam telah berlalu. Di tempat tidur mereka yang sempit, Sania dan Mesaud berbaring sambil berpelukan. Tapi mereka tidak tidur. Keduanya menatap nanar ke langit-langit yang gelap. Ketika dari jauh terdengar suara kokok ayam pertama, Mesaud mencium kepala Sania, dan berbisik di telinganya, "Aku mencintaimu. Aku ingin hidupmu bahagia." Sania mengeratkan pelukannya. "Aku juga," balasnya.

(akan berlanjut resensi cerpen lainnya dalam postingan berikut)

0 comments:

Posting Komentar