Hidup itu semacam permainan. Kalah atau menang, itu sebuah suratan.

14 Sep 2012

Terakhir

Judul diatas bukanlah sebuah resensi dari buku yang baru saya baca tadi.

Entahlah, saya ingin banyak mengungkapkan tentang apa yang terjadi akhir-akhir ini.

Banyak yang berubah dalam kurun waktu dua setengah bulan, dan memang, itulah kehidupan.

Saya baru sadar, bahwa saya kurang memberikan ruang pada naluri intuitif saya, untuk bertindak, untuk menjadi akar dalam tiap gerak sebab-akibat di papan biliar besar yang bernama kehidupan ini.

Saya baru sadar kejadian janggal dan dramatis tiba-tiba terjadi karena itu merupakan manifestasi dari pikiran saya sendiri.

Karena saya terlalu memaksakan diri untuk berpikir logis. Bahwa ternyata tidak semuanya tidak terjadi harus dengan sequence yang logis.

Turn-overs. Ada bayang-bayang dari kata itu dalam setiap jalan. Entah itu jalan setapak yang menuntunmu ke sebuah mata air, atau jalan bebas hambatan yang membawamu ke jurang. Dan saya baru sadari bahwa, keputusan di tengah-tengah jalan itu, bisa mengajakmu ke sebuah "kemenangan" atau "kekalahan" yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mata air atau jurang tersebut.

Saat itulah, sebuah titik di mana turn-over menjadi legal. Menjadi sebuah keputusan valid, di mana jika kau menyesal atas keputusan itu, maka baru keputusan itu adalah salah.

Baru saya sadari, tidak ada waktu untuk menyesal.

Proporsi melankolis dalam hidup saya memang tidak seberapa, dibanding bagian-bagian lain yang memaksa untuk ambil andil yang lebih besar.

Kemenangan dan kekalahan, selalu memberi hal yang sama: luka.
Seberapapun saya menang, saya juga pasti menerima suatu kekalahan. Dan seberapa kalahpun saya, ada sebuah titik di mana saya mendapat kemenangan.

Perubahan katastrofik dari fisik dan mental yang benar-benar overwhelming  juga memaksa. Kita harus sadar bahwa adaptasi adalah segalanya. Dalam hal ini kita dan makhluk hidup lainnya sama. Adaptasi memerlukan suatu lingkungan yang berbeda, agar dapat terus melanjutkan kehidupannya. Kita termasuk dalam sistem, kita harus selaras. Kita harus paralel dengan garis sistem yang lebih besar -- kehidupan, waktu, takdir, dan lain-lain. Tidak ada waktu untuk sejenak menoleh kebelakang, jika kita sedang dalam suatu wahana yang melaju cepat tak terkendali.

Mungkin ini post terakhir. Blog ini akan vakum sampai saya berhasil meraih impian hidup saya dan menata bagian-bagian yang centang-perenang. Entah yang ke berapa. Kadang khayalan bisa menunggu, tapi hidup tidak. Sekian.

12 Sep 2012

Rahasia

:17


Ada sebuah ungkap yang kuingin rahasiakan
tapi jangan di bawa kemana-mana, ya

kupikir ini waktu tepat untuk kita bicarakan
dalam puisi waktu itu abadi, hanya percaya

***

adalah gores kekal sampanye yang meledak
seperti supernova di konstelasi kata-kata
puisi yang terselip dalam halaman depan yang dimaafkan

satu bukti bahwa kabut merah senama
cinta itu sudah aku miliki dan lekas aku sampaikan
sejak sekian lengang lamanya

kamu percaya? percayalah, kamu itu setetes cahaya

***
bahwa tiap bait huruf dan puisi terjahit
dari sebuah nyala yang kuyakin tak kunjung padam
dari nyala cintamu yang laksana cahaya

ketika aku percaya bahwa mimpi-mimpi paling bodoh
akan sanggup aku tuang dalam botol warna

tersebutlah pendar cahaya matamu itu yang buat aku percaya

***

boneka itu bagai kata-kata rindu yang mencerap lelap
tidurku, sehingga saat kita bertemu
jantungku tak akan terlalu bertalu-talu

satu kata kalimat bait puisi berupa susunan
acak rindu yang ingin aku uraikan dengan segenap niat
bahwa mengapa terlalu sulit aku ungkapkan kepadamu

***

dan entah disadari atau tidak, kadang kenang
selalu mengikuti dari belakang dan menunggu di ambang pintu
menunggu kalimat dan kata untuk menoleh kepadanya
menjadi sebuah anyaman puisi untuk dirimu

dan huruf terakhir ini lah sebuah persembahan kata-kata
memerahkan elegi yang sudah jauh terjatuh dalam lindap rawa

karena kita bersama-sama, dengan segalanya


30 Agustus 2012

18 Agu 2012

Azalea

kelopakmenyembunyi
gelap dalam singkap ungumu

kantung racun berbuah ranum
bagai kuning nektar sunyi

dari jantungmu adalah rumah
bagi segala pejalan yang singgah

sementara kabut dan darah
mewangi manis selaksa sepah

terangi setapak yang menelusur gelita
pada pekarangan rumah yang jelita

di samping lampu taman
di sudut sebuah kolam

ada kembang yang terdiam
dalam bayangan di bawah merbau

pada semi hatimu
bayangan tentang engkau

18 Agustus 2012


9 Agu 2012

Gelita

secawan kopi: saksi maha saksi
rindu yang bertelur pada krim susu
teguk seteguk kutenggak
hangat

malam: hapus nyeri dan nyeri
sesukat demi sesukat

***

jantung malam belum kutabuh
"Malam, jalan panjang.
Apa gerangan kabarmu?

"Baik saja, sayang.
Ini rindu sedang kuramu."

sesabar-sabar malam adalah
yang tegar merindu kamu.

Karena ada liku yang terlalu
silau, jeram yang terlalu seram
dan jurang yang terlalu curang

Maka dari itu lah,
kopi ini: saksi maha saksi
saksi kelewat raksi

meraksikan lelap dan lelah
jadi bantal hangat mencegar

gelita merintang, apalah arti
kalau jelita
sebuah gemintang
seruah asap membintang

9 Agustus 2012

29 Jul 2012

Epos Sebuah Tubuh

berbuku-buku kata
terekam dalam liang

tubuhmu seperti cahaya
aku gelap yang silam

taruh cahaya itu dalam buku
dan baca diriku pelan-pelan saja

seperti penyair, teliti beribu hati
apa ada sajak yang berontak dari

kemerdekaan tubuhnya

***

cukup baca mataku, ada
seribu kemungkinan disitu

cukup baca kataku
cukup baca pelukku

dalam diam yang fana ada tasbih
ada hati
yang meluncur senantiasa karena engkau

karena mu
karena siapa lagi?

28 Juli 2012

28 Jul 2012

Rumah

sebentuk bangun
kupu-kupu
ilalang, lilaka, aku

mata terbuka
gerimisbeku

di jendeladepan
di jendela akupandang
sepeda merah tedas bersandar
pada batang pohon nangka

pada sepi yang hinggap
di atap
di pintu

aku minta sebuah tanya, bukan jawab
sebuah lukisan
sebuah kebenaran

bukan kabut, bukan asap putih
bukanlah sepi bila kupanggil rumahku ini

rumahku disini
rumahku nanti

27 Juli 2012


25 Jul 2012

Istirahat Babak Pertama Dalam Sebuah Pertandingan

ada sebuah tanda, aku tak bisa ucap
panggung sudah gelap, gelap jadi kalap
Aku bicara sendiri pada peluit yang membunyi
waktu sudah henti, peluh mewanti

Kita tahu pertandingan belumlah usai
dan juang jantung masih bertalu pada dada perisai
tidak, simpan kartu truf yang dibuka nanti
jangan kau balik dan ungkapkan semua isi hati

kita tidak tahu kapan peluit akan lagi dibunyikan
semua tidak tahu takdir dan niat yang tak tersampaikan
ginjal, jantung, rabu, sumsum, lambung
periksa lukaluka, siapkan untuk peluit dan asa membubung

masih

25 Juli 2012