lampu jalan menelan
bulevar hitam di sisi Pantheon itu
ada seorang biduanita, mata nanar
digores malam, suara mengorek sisa
dan pemain Trombone tua, masih dengan
khayal remaja--bermain di Champs Elysees
tapi ia terlalu pandai bertepuk
dengan sebelah tangan, maka ia lapuk
dengan lauk nada basi pembuat mabuk
.....audiens-nya. "Cukup dingin melodimu."
"Ah tidak, jiwamu yang beku."
biduanita itu berkata pelan pada Rene.
dijawab sekasar bariton pada Adrienne
Kadang ada manusia yang tidak sampai
mengerti, nada implisit itu sedingin karang es
karena cerita dibalik semua--belum ada yang
menyanggupi--sungguh dibawah titik beku hati.
"Gubahan ceritaku untuk sang Paris terlampau
pahit, tak pantas kusandingkan dengan
indah dan udaranya yang legit." jelas Rene.
Kami dulu sama-sama melodi. Buat apa saling beda birama
dan ketuk? Nanti tidak akan menjadi harmoni.
Buat apa saling memimpi orkestra, tapi tidak memiliki satupun nada?
Tanpa tempo dan ritme yang sama, hanya mengikuti degup detak nadi.
Dan tepat pada saat itu dinding-dinding paris mulai menguntai
rajutan airmata di pipi kota itu. Rene bangun dari bangku. Pulang ke rumah.
Adrienne menatap kaku. Pipinya gerimis basah.
5 Februari 2012
0 comments:
Posting Komentar