Hidup itu semacam permainan. Kalah atau menang, itu sebuah suratan.

13 Nov 2011

Sang Penari

adalah sebuah desa, yang mungkin matahari
bertindih dengan ringkih di guling pematang;
seprei basah sawah dimana peluh keringatnya
dan petani beradu nanti

adalah bentur gamelan di malam-malam
meliuk dan saling mengungkai dengan birahi
memeluk lelipatan bunyi di nadi, dan cium
tengkuk sang penari saat kenduri

Oh Sang Ronggeng Dukuh Paruk, mulai bermain
cello di udara kosong, tangannya memetik syahwat
dan nafsu yang mengejan. Mata-mata tertahan dan
nanar menutup-membuka, menyerah dari birahi yang menang.

"Aku menyerah kepada Eyang Secamenggala, biarkan
kau menarik seluruh tubuhku malam ini, Dewa. Biarkan
tubuhku tabah dalam satu tunggal gelombang yang menggema
malam-malam. Mengikuti tabuh gendang, lengkung nada kolintang.
Bara tanah, nanah dalam tungku menyala, menyala lilin
basah yang diregang di genggam tanganmu, Dewa. Hancurkan dan
luluh aku dalam abu serah diri, yang indah, gothis, biarkan
aku menyala dalam nyala arang erangmu...."

"Katakanlah kepadaku, wahai Sang Ronggeng yang pemalu, kapan mulai
membuka kelambumu
di kamar pojok dari bambu?"

Cintanya yang menderas dari elegi pengasingan merah
bibirnya tiap malam, jatuh lepas dan hilang dari pandangan
di kejauhan. Rindurindu bertengger di jendela kamar
mereka yang pertama, dimana kebas dahaga terpuaskan
setelah sekian lama.

***

Angin mulai mengeluarkan seruling bambu

dan mengusik dua kekasih itu yang belum lelap tertidur.

Tidak dalam satu kelambu, atau bahkan dalam kamar bambu
Tapi dalam jarak yang mengiris

mengiris runcing-runcing bencinya tiap mereka
di mabuk dalam rindu tersirat
erat dalam hati mereka

genggam tangan yang melepas.....


13 November 2011

0 comments:

Posting Komentar