Subuh menyingsing pelan lewat awan-awan
dan rona merah mega terpatri di petala.
Kelopak bening bulan bak permata marjan,
serta sisa angin malam mendesau di jalan-jalan.
Malam,
malam sudah berganti fajar yang menenggelam.
Aku dan Ayahku meniti jembatan seputih pualam,
menengadah melihat kuasa Tuhan yang mendendang lagu senda
sambil menyungging senyum yang senada.
Tekukur teredam di belakang kami
disamping sungai yang merayap ke punggung bukit.
Dingin, dingin yang meremas jari-jari.
kami kemudian duduk di hulu sunyi
mencelup kaki ke air sungai yang menanti.
"Kakekmu membawaku ke sini setiap pagi." katanya,
memecah keheningan.
"Kini saatnya aku membawamu; mengagumi kuasa Tuhan."
Jingga sudah bertemperas di ufuk timur,
berpagutan dengan biru gelap,
mencoba untuk menelannya bulat-bulat;
dan melingkupi kubah mayapada.
Aku mati kata.
Sungai yang tercelup kaki kami segera berubah warna.
layaknya laut tinta emas tertumpah disana.
Ya,
cakrawala di timur berangsur menguning
bersama dengan aliran sungai yang tercelup hening.
Aku berdiri tercengang ! mengangkat kakiku yang basah dan gemetar.
ufuk timur mengalir lewat sungai ini
Warna-warnanya pudar,
jatuh, tapi menderas bersama sungai !
Semenit berlalu itu adalah ukiran indah dalam memori.
Ah, aku juga nanti mengajak anakku kesini !
11 April 2011
0 comments:
Posting Komentar